Selasa, 30 September 2014

Belajar "Kesabaran" dari Ummu Sulaim dan Abu Thalhah

Kisah ini adalah kisah Ummu Sulaim dan suami beliau Abu Thalhah.Kisah ini bermula ketika keluarga Ummu Sulaim mendapatkan ujian berupa musibah sakitnya putra Ummu Sulaim dan Abu Thalhah. Putra beliau yang sakit parah ketika itu ditinggalkan oleh sang ayah Abu Thalhah untuk menghadiri majelis ilmu bersama Rasulullah SAW. Ketika ditinggalkan ayahnya, kondisi putra Ummu Sulaim malah bertambah parah, bahkan hingga meninggal dunia malam hari itu)). Namun Ummu Sulaim tetap tabah bahkan sangat sabar menghadapi meninggalnya putra beliau.

Ketika Abu Thalhah pulang dari majelis ilmu bersama Rasulullah SAW, beliau bertanya kepada Ummu Sulaim “Ya Ummi, bagaimana keadaan putra kita?” dan Ummu Sulaim pun menjawab “Wahai Abi, tidak pernah aku melihat putra kita dalam keadaan setenang ini!”. Mendengar jawaban sang istri Abu Thalhah pun merasa sangat senang bahkan bahagia.

Kemudian tidak lama setelah perbincangan itu, Ummu Sulaim pun berdandan menghias dirinya sendiri, sesuai dengan tuntunan Rasulullah bahwa seorang istri hanya diperbolehkan berdandan hanya untuk suaminya. Dan Ummu Sulaim pun kemudian mengajak Abu Thalhah untuk berjima’ atau melakukan hubungan suami istri.
 
Ketika pasangan suami-istri tersebut melakukan jima’, Ummu Sulaim pun bertanya kepada Abu Thalhah “Wahai suamiku, aku ingin bertanya kepadamu..”. “silahkan istriku” jawab Abu Thalhah. “Apabila Engkau mendapatkan suatu titipan, dan kemudian pemiliknya meminta barang itu kembali, apakah Engkau akan mengembalikannya?” Tanya Ummu Sulaim. Abu Thalhah menjawab “Tentu saja, karena barang itu milik orang lain, bukan milikku”. “Dan tahukah Engkau wahai suamiku, anak kita adalah titipan dari ALLAH SWT? 

Dan sekarang anak kita telah diambil lagi oleh pemiliknya…”. Abu Thalhah pun bertanya “apa maksudmu wahai istriku?”. “Ya, anak kita telah meninggal dunia…” Ummu Sulaim pun menjawab. Mendengar jawaban itu, Abu Thalhah pun kemudian marah kepada Ummu Sulaim, Abu Thalhah marah kepada Ummu Sulaim karena beliau tidak langsung memberitahukan meninggalnya putra beliau kepada Abu Thalhah dan juga dalam keadaan tertimpa musibah seperti itu, Ummu Sulaim pun masih sempat mengajak suaminya untuk berhubungan suami-istri atau berjima’.

Keesokan harinya, Abu Thalhah pun mendatangi kediaman Rasulullah SAW untuk mengadukan perbuatan istrinya kepada Rasulullah. Ketika sampai di depan kediaman Rasul, Rasulullah SAW langsung bertanya kepada Abu Thalhah “Wahai sahabatku, apakah tadi malam Engkau telah melakukan ‘Bulan Madu’ bersama istrimu, karena wajahmu terlihat begitu cerah?”. Abu Thalhahpun menjawab “Benar Rasulullah, namun bukan itu yang ingin hamba sampaikan kepada Engkau wahai Rasulullah…” dan kemudian Abu Thalhah menceritakan semua kejadian tadi malam kepada Rasulullah SAW.Mendengar cerita Abu Thalhah, Rasulullah SAW kemudian langsung mendoakan Ummu Sulaim dan Abu Thalhah agar keduanya diberikan keturunan yang shaleh dan shalehah oleh ALLAH SWT.

Beberapa waktu kemudian Ummu Sulaim pun hamil dan kemudian melahirkan seorang anak yang diberi nama Abdullah bin Abu Thalhah yang kemudian dikenal menjadi seorang yang sangat alim dan shaleh. Setelah Abdullah bin Abu Thalhah menikah pun, beliau kemudian dikaruniai 10 orang anak oleh ALLAH SWT yang dikenal sebagai penghafal Al-Qur’an yang alim. Dari kisah Ummu Sulaim tersebut, mungkin itu adalah salah satu contoh hasil dari ketawwakkalan mahluk kepada ALLAH SWT yang kemudian dibalas oleh ALLAH SWT dengan sesuatu yang jauh lebih baik lebih dari yang kita harapkan.

Kamis, 25 September 2014

Rizqi Kita, Soal Rasa oleh : Salim A. Fillah dalam Rajutan Makna. 11/09/2014

Aku tahu, rizqiku takkan diambil orang, karenanya hatiku tenang..
Aku tahu, ‘amalku takkan dikerjakan orang, karenanya kusibuk berjuang..
-Hasan Al Bashri-

Pemberian uang yang sama-sama sepuluh juta, bisa jadi sangat berbeda rasa penerimaannya. Kadang ia ditentukan oleh bagaimana cara menghulurkannya.

Jika terada dalam amplop coklat yang rapi lagi wangi, dihulurkan dengan senyum yang harum dan sikap yang santun, betapa berbunga-bunga kita menyambutnya. Apatah lagi ditambah ucapan yang sopan dan lembut, “Maafkan sangat, hanya ini yang dapat kami sampaikan. Mohon diterima, dan semoga penuh manfaat di jalan kebaikan.”

Ah, pada yang begini, jangankan menerima, tak mengambilnya pun tetap nikmat rasanya. Semisal kita katakan, “Maafkan Tuan, moga berkenan memberikannya pada saudara saya yang lebih memerlukan.” Lalu kita tahu, ia sering berjawab, “Wah, jika demikian, kami akan siapkan yang lebih baik dan lebih berlimpah untuk Anda. Tapi mohon tunggu sejenak.”

Betapa berbeda rasa itu, dengan jumlah sepuluh juta yang berbentuk uang logam ratusan rupiah semuanya. Pula, ia dibungkus dengan karung sampah yang busuk baunya. Diberikan dengan cara dilempar ke muka, diiringi caci maki yang tak henti-henti. Betapa sakitnya. Betapa sedihnya. Sepuluh juta itu telah hilang rasa nikmatnya, sejak mula ia diterima.

Inilah di antara hakikat rizqi, bahwa ia bukan soal berapa. Sungguh ia adalah nikmat yang kita rasa. Sebab sesungguhnya, ia telah tertulis di langit, dan diterakan kembali oleh malaikat ketika ruh kita ditiupkan ke dalam janin di kandungan Ibunda. Telah tertulis, dan hendak diambil dari jalan manapun, hanya itulah yang menjadi jatah kita. Tetapi berbeda dalam soal rasa, karena berbeda cara menghulurkannya. Dan tak samanya cara memberikan, sering ditentukan bagaimana adab kita dalam menjemput dan menengadahkan tangan padaNya.
Rizqi memiliki tempat dan waktu bagi turunnya. Ia tak pernah terlambat, hanyasanya hadir di saat yang tepat.
“Janganlah kalian merasa bahwa rizqi kalian datangnya terlambat”, demikian sabda Rasulullah yang dibawakan oleh Imam ‘Abdur Razzaq, Ibnu Hibban, dan Al Hakim, “Karena sesungguhnya tidaklah seorang hamba meninggal, hingga telah datang kepadanya rizqi terakhir yang ditetapkan untuknya. Maka tempuhlah jalan yang baik dalam mencari rizqi, yaitu dengan  yang halal dan meninggalkan yang haram.”

Jika jodoh adalah bagian dari rizqi, boleh jadi berlaku pula kaidah yang sama. Sosok itu telah tertulis namanya. Tiada tertukar, dan tiada salah tanggal. Tetapi rasa kebersamaan, akan ditentukan oleh bagaimana adab dalam mengambilnya. Bagi mereka yang menjaga kesucian, terkaruniakanlah lapis-lapis keberkahan. Bagi mereka yang mencemarinya dengan hal-hal mendekati zina, ada kenikmatan yang kan hilang meski pintu taubat masih dibuka lapang-lapang. Sebab amat berbeda, yang dihulurkan penuh keridhaan, dibanding yang dilemparkan penuh kemurkaan.

Rizqi adalah ketetapan. Cara menjemputnya adalah ujian. Ujian yang menentukan rasa kehidupan. Di lapis-lapis keberkahan dalam setetes rizqi, ada perbincangan soal rasa. Sebab ialah yang paling terindra dalam hayat kita di dunia.
***
Di antara makna rizqi adalah segala yang keluar masuk bagi diri dengan anugrah manfaat sejati. Nikmat adalah rasa yang terindra dari sifat maslahatnya. Kasur yang empuk dapat dibeli, tapi tidur yang nyenyak adalah rizqi. Ia dapat saja terkarunia di alas koran yang lusuh, dan bukan di ranjang kencana yang teduh. Hidangan yang mahal dapat dipesan, tetapi lezatnya makan adalah rizqi. Ia dapat saja terkarunia di wadah daun pisang bersahaja, bukan di piring emas dan gelas berhias permata.

Atau bahkan, ada yang memandang seseorang tampak kaya raya, tapi sebenarnya Allah telah mulai membatasi rizqinya.

Ada yang bergaji 100 juta rupiah setiap bulannya, tapi tentu rizqinya tak sebanyak itu. Sebab ketika hendak meminum yang segar manis dan mengudap yang kue yang legit, segera dikatakan padanya, “Awas Pak, kadar gulanya!” Ketika hendak menikmati hidangan gurih dengan santan mlekoh dan dedagingan yang lembut, cepat-cepat diingatkan akannya, “Awas Pak, kolesterolnya!” Hatta ketika sup terasa hambar dan garam terlihat begitu menggoda, bergegaslah ada yang menegurnya, “Awas Pak, tekanan darahnya!”
Rasa nikmat itu telah dikurangi.

Lagi-lagi, ini soal rasa. Dan uang yang dia himpunkan dari kerja kerasnya, amat banyak angka nol di belakang bilangan utama, disimpan rapi di Bank yang sangat menjaga rahasia, jika dia mati esok pagi, jadi rizqi siapakah kiranya? Apa yang kita dapat dari kerja tangan kita sendiri dan kita genggam erat hari ini, amat mungkin bukan hak kita. Seperti hartawan yang mati meninggalkan simpanan bertimbun. Mungkin itu mengalir ke ahli warisnya, atau bahkan musuhnya. Allah tak kekurangan cara untuk mengantar apa yang telah ditetapkanNya pada siapa yang dikehendakiNya.

Rizqi sama sekali bukan yang tertulis sebagai angka gaji.

Seorang pemilik jejaring rumah makan dari sebuah kota besar Pulau Jawa, demikian cerita shahibul hikayat yang kami percaya, dengan penghasilan yang besarnya mencengangkan, punya kebiasaan yang sungguh lebih membuat terkesima. Sepanjang hidupnya, tak pernah dia bisa berbaring di kasur, apalagi ranjang berpegas. Dia hanya bisa beristirahat jika menggelar tikar di atas lantai dingin, tepat di depan pintu.
Rizqi sama sekali bukan soal apa yang sanggup dibeli.

Ada lagi kisah tentang seorang pemilik saham terbesar sebuah maskapai penerbangan yang terhitung raksasa di dunia. Armada pesawat yang dijalankan perusahaannya lebih dari 100 jumlahnya. Tetapi dia menderita hyperphobia, yakni rasa takut terhadap ketinggian. Seumur hidupnya, yang bersangkutan tak pernah berani naik pesawat.

Rizqi sama sekali bukan soal apa yang dikuasai.

Sebaliknya pula, ada seorang lelaki bersahaja yang tidak mampu membeli mobil sepanjang hidupnya. Tapi sungguh Allah telah menetapkan bahwa rizqinya adalah naik mobil ke mana-mana. Maka para tetangga selalu berkata bergiliran padanya, “Mas, tolong hari ini pakai mobil saya untuk kegiatannya ya. Saya senang kalau Mas yang pakai. Sungguh karenanya terasa ada berkah buat kami sekeluarga.” Dan pemilik mobil pergi bekerja ke kantornya dengan mengayuh sepeda. Sebab itulah yang disarankan dokter padanya.
Rizqi sama sekali bukan soal apa yang dimiliki.

***
Dzat Yang Mencipta kita, sekaligus menjamin rizqi bagi penghidupan kita, adalah Pemilik, Pemelihara, dan Pengatur segala urusan kita. Dialah Allah Subhanahu wa Ta’ala, tiada sekutu bagiNya. Maka bagaimana kiranya, jika anugrah dariNya justru kita gunakan untuk mendurhakaiNya? Maka apa jadinya, jika dengan karuniaNya kita malah tenggelam dalam maksiat dan dosa?

“Sesungguhnya seseorang dihalangi dari rizqinya”, demikian Rasulullah bersabda sebagaimana dicatat oleh Imam Ahmad, “Disebabkan dosa yang dilakukannya.”

Ada beberapa keterangan ‘ulama tentang dosa menghalangi rizqi ini, yang selaiknya kita simak. Pertama, bahwa memang yang bersangkutan terhalang dari rizqinya, hingga ke bentuk zhahir rizqi itu. Ini sebagaimana firman Allah tentang dakwah Nuh pada kaumnya.
“Maka aku katakan kepada mereka, “Mohonlah ampunan kepada Rabb kalian. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan hujan kepada kalian dengan lebat, dan membanyakkan harta dan anak-anak kalian, dan mengadakan untuk kalian kebun-kebun dan mengadakan di dalamnya sungai-sungai.” (QS Nuh [71]: 10-12)
“Maknanya”, demikian ditulis Imam Ibnu Katsir dalam Tafsirul Quranil ‘Azhim, “Jika kalian bertaubat kepada Allah, meminta ampun kepada-Nya dan kalian senantiasa mentaatiNya, niscaya Dia akan membanyakkan rizqi kalian dan menurunkan air hujan serta keberkahan dari langit.”

“Selain itu”, lanjut beliau, “Dia juga akan mengeluarkan untuk kalian berkah dari bumi, menumbuhkan tumbuh-tumbuhan untuk kalian, melimpahkan air susu perahan untuk kalian, membanyakkan harta dan anak-anak kalian, menjadikan kebun-kebun yang di dalamnya terdapat bermacam-macam buah untuk kalian, serta mengalirkan sungai-sungai di antara kebun-kebun itu untuk kalian.”

Jika bertaubat menjadikan berlimpahnya bentuk rizqi, maka berdosa berarti membatalkan semua itu. Ini pemahaman pembalikannya.

Keterangan yang kedua, bahwasanya yang dihalangi dari si pendosa adalah rasa nikmat yang dikaruniakan Allah dari berbagai bentuk rizqi tersebut. Rizqi tetap hadir, tapi rasa nikmatnya dicabut. Rizqi tetap turun, tapi rasa lezatnya dihilangkan. “Maka”, demikian menurut Imam An Nawawi, “Karena dosa yang menodai hatinya, hamba tersebut kehilangan kepekaan untuk menikmati rizqinya dan mensyukuri nikmatnya. Dan ini adalah musibah yang sangat besar.”

Hujjah bahwa semua bentuk rizqi itu tetap turun, ada dalam berbagai hadits Rasulillah. Ada yang sudah kita sebut, demikian pula yang berikut ini:

“Sesungguhnya Jibril mengilhamkan ke dalam hatiku”, demikian sabda Rasulullah dalam riwayat Imam Ath Thabrani dan Al Baihaqi, “Bahwa tidak ada satu pun jiwa yang meninggal kecuali telah sempurna rezekinya. maka bertakwalah kepada Allah dan perbaguslah dalam mencari rezeki. Jangan sampai lambatnya rezeki menyeret kalian untuk mencarinya dengan bermaksiat kepada Allah, karena apa yang ada pada sisi Allah tidak akan bisa diperoleh dengan bermaksiat kepada-Nya.”

“Apa yang ada di sisi Allah”, demikian lanjut Imam An Nawawi, “Adalah ridhaNya yang menjadikan rizqi itu ternikmati di dunia, berkah senantiasa, dan menjadi pahala di akhirat. Maka memang ia tak dapat diraih dengan kemaksiatan dan dosa.”

“Adapun ayat dalam Surah Nuh”, terusnya, “Khithab da’wahnya ditujukan kepada orang kafir, yang meskipun mereka mengingkari Allah dan menyekutukanNya, tapi Allah tidak memutus rizqi mereka secara mutlak. Akan tetapi, jika mereka beristighfar dan bertaubat, sesungguhnya karunia yang lebih besar pastilah Allah limpahkan.”

Menghimpun kedua catatan ini, amat jadi renungan sebuah kisah tentang Imam Hasan Al Bashri. Pada suatu hari, seorang lelaki datang kepada beliau. “Sesungguhnya aku”, ujarnya pada Tabi’in agung dari Bashrah itu, “Melakukan banyak dosa. Tapi ternyata rizqiku tetap lancar-lancar saja. Bahkan lebih banyak dari sebelumnya.”

Sang Imam tersenyum prihatin. Beliau lalu bertanya, “Apakah semalam engkau qiyamullail wahai Saudara?”
“Tidak”, jawabnya heran.

“Sesungguhnya jika Allah langsung menghukum semua makhluq yang berdosa dengan memutus rizqinya”, jelas Hasan Al Bashri, “Niscaya semua manusia di bumi ini sudah habis binasa. Sungguh dunia ini tak berharga di sisi Allah walau sehelai sayap nyamukpun, maka Allah tetap memberikan rizqi bahkan pada orang-orang yang kufur kepadaNya.”

“Adapun kita orang mukmin”, demikian sambung beliau, “Hukuman atas dosa adalah terputusnya kemesraan dengan Allah, Subhanahu wa Ta’ala.”

***
Lagi-lagi terrenungi, bahwa di lapis-lapis keberkahan, ini soal rasa. Semoga Allah melimpahkan rizqiNya kepada kita, dan menjaga kita dari bermaksiat padaNya. Dengan begitu, sempurnalah datangnya nikmat itu dengan kemampuan kita menikmati rasa lezatnya, lembutnya, dan harumnya. Di lapis-lapis keberkahan, soal rasa adalah terjaganya kita dari dosa-dosa.

sepenuh cinta, dinukil dari:
Lapis-Lapis Keberkahan, Setitis Rizqi

Rabu, 24 September 2014

Wasiat Luqman Hakim

Diriwayatkam didalam wasiat-wasiat Luqman al - Hakim kepada anaknya, beliau berkata :

Wahai anakku jangan sekali-sekali seekor ayam menjadi lebih cerdas dari dirimu!
Ayam berteriak memanggil-manggil siapapun diwaktu sahur sedangkan engkau tidur pulas.

Sungguh indah syair yang dilantunkan oleh sang penyair :

لقد هتفت في جنح ليل حمامة
على فنن وهنا، وإني لنائم
كذبت، و بيت الله، لو كنت عاشقا
لما سبقتني بالبكاء الحمائم
وأزعم أني هائم ذو صبابة
لربي، فلا أبكي و تبكي البهائم

Sungguh telah berteriak seorang wanita cantik menjelang petang hari

Sedang aku dalam keadaan tidur melemah diatas ranting.

"demi baitullah, aku berbohong. Seandainya aku (mengaku) rindu, maka niscaya burung-burung merpati tidak akan mendahului ku untuk menangis"

aku mengira bahwa aku adalah orang yang bingung, memendam rindu kepada Tuhanku, akan tetapi aku tidak menangis, sedangkan hewan-hewan ternak sama-sama menangis (karenaNya)

Jumat, 19 September 2014

Luasnya Rahmat Allah SWT

حُكِيَ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ أَدْهَمَ أَنَّهُ قَالَ : كُنْتُ ضَيْفًا لِبَعْضِ الْقَوْمِ ، فَقَدَّمَ الْمَائِدَةَ ، فَنَزَلَ غُرَابٌ وَسَلَبَ رَغِيفًا ، فَاتَّبَعْتُهُ تَعَجُّبًا ، فَنَزَلَ فِي بَعْضِ التِّلَالِ ، وَإِذَا هُوَ بِرَجُلٍ مُقَيَّدٍ مَشْدُودِ الْيَدَيْنِ ، فَأَلْقَى الْغُرَابُ ذَلِكَ الرَّغِيفَ عَلَى وَجْهِهِ .

Dikisahkan dari Ibrahim bin Adham (W.162 H), sesungguhnya beliau berkata :
" Saya menjadi tamu pada sebagian kaum, lalu dihidangkan makanan, kemudian seekor burung gagak turun, dan merampas roti, saya pun mengikutinya karena keheranan, kemudian burung itu turun di sebagian anak bukit, ternyata di sana terdapat seorang lelaki yang kedua tangannya terikat dengan kuat, lalu burung itu menjatuhkan roti di depan lelaki tersebut. "

Diriwayatkan dari Dzun nun Al misri (W. 245 H), sesungguhnya beliau berkata :
" Saya berada di rumah, ketika kegelisahan menimpa hati saya, saya pun tidak menguasai diri saya, maka saya keluar dari rumah, dan berhenti di tepi sungai nil, kemudian saya melihat kalajengking yang kuat sedang berlari, maka saya mengikutinya, kalajengking itu sampai pada ujung sungai nil, kemudian saya melihat katak yang berdiam di ujung lembah, lalu kalajengking duduk di atas punggung katak, dan katak pun berenang dan pergi,

فَرَكِبْتُ السَّفِينَةَ وَتَبِعْتُهُ فَوَصَلَ الضُّفْدَعُ إِلَى الطَّرَفِ الْآخَرِ مِنَ النِّيلِ ، وَنَزَلَ الْعَقْرَبُ مِنْ ظَهْرِهِ ، وَأَخَذَ يَعْدُو فَتَبِعْتُهُ ، فَرَأَيْتُ شَابًّا نَائِمًا تَحْتَ شَجَرَةٍ ، وَرَأَيْتُ أَفْعَى يَقْصِدُهُ ، فَلَمَّا قَرُبَتِ الْأَفْعَى مِنْ ذَلِكَ الشَّابِّ وَصَلَ الْعَقْرَبُ إِلَى الْأَفْعَى ، فَوَثَبَ الْعَقْرَبُ عَلَى الْأَفْعَى فَلَدَغَهُ ، وَالْأَفْعَى أَيْضًا لَدَغَ الْعَقْرَبَ ، فَمَاتَا مَعًا ، وَسَلِمَ الْإِنْسَانُ مِنْهُمَا .

kemudian saya naik perahu mengikuti kemana perginya katak itu, kemudian katak sampai di ujung yang lain dari sungai nil, kalajengking pun turun dari punggung katak, dan kemudian lari, saya pun mengikutinya, kemudian saya melihat seorang pemuda yang sedang tidur di bawah pohon, dan saya melihat seekor ular yang sedang menuju ke arah pemuda itu, ketika ular tersebut semakin dekat dengan pemuda tersebut, kalajengking pun sampai pada tempat ular, maka kalajengking pun melompat pada ular kemudian menyengatnya, ular pun mematuk kalajengking, kemudian keduanya mati bersamaan, manusia pun selamat dari keduanya. "

وَيُحْكَى أَنَّ وَلَدَ الْغُرَابِ كَمَا يَخْرُجُ مِنْ قِشْرِ الْبَيْضَةِ يَخْرُجُ مِنْ غَيْرِ رِيشٍ فَيَكُونُ كَأَنَّهُ قِطْعَةُ لَحْمٍ أَحْمَرَ ، وَالْغُرَابُ يَفِرُّ مِنْهُ وَلَا يَقُومُ بِتَرْبِيَتِهِ ، ثُمَّ إِنَّ الْبَعُوضَ يَجْتَمِعُ عَلَيْهِ لِأَنَّهُ يُشْبِهُ قِطْعَةَ لَحْمٍ مَيِّتٍ ، فَإِذَا وَصَلَتِ الْبَعُوضُ إِلَيْهِ الْتَقَمَ تِلْكَ الْبَعُوضَ وَاغْتَذَى بِهَا ، وَلَا يَزَالُ عَلَى هَذِهِ الْحَالِ إِلَى أَنْ يَقْوَى وَيَنْبُتُ رِيشُهُ وَيَخْفَى لَحْمُهُ تَحْتَ رِيشِهِ ، فَعِنْدَ ذَلِكَ تَعُودُ أُمُّهُ إِلَيْهِ ، وَلِهَذَا السَّبَبِ جَاءَ فِي أَدْعِيَةِ الْعَرَبِ : يَا رَزَّاقَ النَّعَّابِ فِي عُشِّهِ ،
فَظَهَرَ بِهَذِهِ الْأَمْثِلَةِ أَنَّ فَضْلَ اللَّهِ عَامٌّ ، وَإِحْسَانَهُ شَامِلٌ ، وَرَحْمَتَهُ وَاسِعَةٌ .

dan dikisahkan :
" Sesungguhnya anak gagak sebagaimana keluar dari cangkang telur, keluar tanpa bulu, maka seakan-akan anak gagak itu sepotong daging berwarna merah, (induk) gagak pun pergi menghindar tidak berdiam diri untuk mendidik anaknya, kemudian nyamuk-nyamuk pun datang mengerubungi, karena seakan-akan anak gagak itu sepotong daging bangkai. Ketika nyamuk-nyamuk sudah sampai pada anak gagak itu, nyamuk-nyamuk itu pun dilahap dan dijadikan santapan oleh anak gagak, keadaan ini terus berlangsung hingga anak gagak menjadi kuat dan memiliki bulu dan dagingnya pun samar tertutupi bulu, dan ketika dagingnya sudah tertutupi dengan bulu, induknya pun kembali padanya.

dan karena sebab inilah, terdapat doa arab :

يا رزاق النعاب في عشه

-- yaa rozzaqon na' 'aabi fii 'asysyihi --

" wahai Dzat Yang Memberi Rizki anak gagak dengan keadaan tetap di sarangnya. " 


Dinukil dari kitab Tafsir Al Kabir Imam Fakhruddin Ar Razy

~{Asy - Syibly}~

Namanya Abu Bakar asy-Syibly Rohimaullah (247 - 334 H/861 - 946 M).

Dikisahkan bahwa beliau menjadi khodim dari empat ratus orang guru (subhanallah...)

Beliau berkata : aku membaca 4 ribu hadist, lalu aku ambil satu hadist untuk aku amalkan dan melepaskan yang lain. Aku berangan-angan tentang satu hadist tersebut, maka aku menemukan bahwa keselamatanku kelak ada didalam hadist tersebut. Ilmu para ulama' terdahulu dan akan datang semuanya terkandung dalam hadist itu.

Rosulullah SAW berkata kepada sebagian sahabat : "bekerjalah untuk duniamu sekedar untuk bekal hidupmu di dunia, dan beramal lah untuk akhiratmu sesuai kadar kekalmu diakhirat, dan beramal lah karena Allah sesuai dengan kadar butuhmu kepada-Nya, dan berbuat lah (maksiat) untuk neraka sekedar kemampuan mu bertahan dengan api neraka.

ان الله وملائكته يصلون على النبي يا أيها الذين آمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما.
اللهم صل وسلم وبارك على سيدنا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين

 

Rabu, 17 September 2014

Hatim al - Ashom

Beliau adalah seorang murid dari Syaqiq al - Balkhi Rahmatullahu alaihima. Suatu saat gurunya, Syaqiq bertanya kepada Hatim : Wahai Hatim, engkau sudah berasamaku selama 30 tahun, lalu apa yang engkau dapatkan dalam waktu selama itu?

Hatim menjawab : Selama 30 tahun tersebut aku mendapatkan 8 faedah ilmu yang dengannya aku berharap keselamatanku kelak diakhirat,

Syaqiq menimpali; apa 8 faedah tersebut?
Hatim menjawab :

1. Aku melihat makhluq, maka aku melihat masing-masing dari mereka memiliki orang yang mereka cintai, dan mereka rindui. Sebagian dari yang dicinta ada yang menemaninya hingga sekarat pati, ada juga yang menemaninya hingga ke pemakaman kemudian kembali lagi (pulang), dan tinggalah sang pencinta/perindu tadi sendiri dalan kubur, tak satupun orang yang menemani. Maka aku berfikir dan berkata : sebaik-baik yang dicinta adalah dia yang rela ikut menemani dalam kubur, menentramkan sang pencintanya. Dan ternyata tidak ada satupun yang mampu seperti itu kecuali amal-amal yang sholih, maka aku menjadikan amal-amal sholih sebagai kekasih yang kucinta dan kurindu agar dia mampu menerangi kuburku, menentramkanku, dan tak meninggalkanku seorang diri.

2. Aku melihat makhluq, mereka tunduk kepada hawa nafsu, dan bersegera untuk memenuhi keingingan-keingingan nafsunya. Kemudian aku berangan-angan tentang firman Allah SWT : 

وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَى. فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَى
Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Rabbnya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sesungguhnya surgalah tempat tinggal(nya).” (QS. An-Nazi’at: 40-41)

Dan aku yakin bahwa al-qur'an adalah sebuah kebenaran paripurna, maka aku bersegera berpaling dari nafsuku. Dan aku bergegas untuk menyerang dan mencegah nafsuku dari berbagai kesenangannya sampai dia (nafsu) rela untuk taat kepada Allah Ta'ala.

3. Aku melihat setiap orang yang berusaha mengumpulkan berbagai kenikmatan dunia kemudian menggenggam erat dunia yang ia dapat guna menjaganya, maka aku berangan-angan tentang ayat Allah Taala:

مَا عِنْدَكُمْ يَنفَدُ وَمَا عِنْدَ اللَّهِ بَاقٍ
"Apa yg ada disisi kalian akan sirna, dan apa yg berada disisi Allah akan kekal {QS.An-Nahl:96}."

 Maka akun menyedekahkan semua harta yang aku dapat dijalan Allah. Aku bagi-bagikan semuanya untuk orang-orang miskin supaya menjadi simpananku disisi Allah swt.

4. Aku melihat sebagian makhluq yang menyangka bahwa dengan banyaknya kaum mereka medapat kemuliaan, mereka telah tertipu. Sebagian lain menyangka bahwa kemuliaan didapat dengan banyaknya harta dan anak lalu mereka berbangga-bangga dengannya. Sebagian yang lain menyangka kemuliaan didapat dengan mengambil harta orang lain, mengalirkan darah orang lain. Sebagian yang lain meyakini bahwa kemuliaan didapat dengan merusak harta orang lain dan menghambur-hamburkannya. Aku berangan-angan tentang firman Allah swt :

إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ
 "sesungguhnya yg paling mulia diantara kalian disisi allah adalah yg paling bertqwa diantara kalian. {al - Hujurat : 13}."

Maka aku memilih taqwa. aku yakin akan kebenaran alqur'an dan apa yang mereka sangka semuanya salah.

5. Aku melihat manusia menghina satu sama lain, menggunjing satu sama lain, baik disebabkan hasud masalah harta, jabatan atau ilmu. Aku berangan-angan tentang firman Allah swt :

نَحْنُ قَسَمْنَا بَيْنَهُمْ مَعِيشَتَهُمْ فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا
 "Kami telah membagi diantara mereka kehidupan mereka di dunia {(Az Zukhruf : 32}", 

Maka aku tahu bagian setiap orang telah ditentukan oleh Allah semenjak azal, sebab itu aku tidak hasud terhadap siapapun dan aku rela dengan pembagian Allah Swt.

6. Aku melihat manusia saling memusuhi satu sama lain karena satu sebab atau tujuan. Kemudian aku berangan-angan firman Allah swt : 

إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوّاً
"Sesungguhnya syetan adalah musuh kalian maka jadikanlah mereka musuh {Faatir : 6}". 

Maka aku tahu bahwa tidak diperkenankan memusuhi selain kepada syetan.

7. Aku melihat setiap orang berusaha sekuat tenaga untuk mencari makan dan kehidupan sampai-sampai terjerumus kedalam syubhat dan harom serta menghinakan dirinya sendiri. Kemudian aku berangan-angan firman Allah swt : 

وَمَا مِن دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا
"Tidak satupun makhluq yg melata diatas bumi kecuali Allah telah menyiapkan rizqinya {Hud : 6}". 

Maka aku mengerti bahwa rizqiku telah disiapkan dan ditanggung oleh Allah swt. Maka aku menyibukkan diri dengan beribadah kepada Allah dan memutus harapan kepada selain Allah Ta'ala.

8. Aku melihat setiap orang bergantung kepada makhluq, adakalanya kepada dinar/dirham, kepada harta benda dan raja, ada pula yang bergantung kepada pekerjaan dan juga ada ke sesama makhluq. Kemudian aku berangan-angan firman Allah swt : 

وَمَنْ يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ إِنَّ اللَّهَ بَالِغُ أَمْرِهِ قَدْ جَعَلَ اللَّهُ لِكُلِّ شَيْءٍ قَدْراً 
"Barangsiapa bertawakkal kepada Allah Swt, maka allah yang mencukupinya. Sesungguhnya Allah menyampaikan urusanNya, sugguh Allah telah menentukan kadarnya terhadap segala seuatu { At-Talaq: 3}". 

Maka aku pasrah kepada Allah Swt dan Allah pun mencukupiku serta sebaik-baik penjaga (wakil)

Lalu Syaqiq berkata : Semoga Allah menolongmu.
Sungguh aku telah melihat 4 kitab Taurat, Injil, Zabur, dan Al-Qur'an, kesemuanya mecakup 8 faidah ini. Barangsiapa mengamalkan 8 faidah yang engkau sebutkan, maka berarti ia mengamalkan semua 4 kitab ini.