Asy’ari Ahmad adalah anak pertama dari
14 bersaudara, beliau dilahirkan pada 10 April 1939 dari pasangan H. Ahmad dan
Hj. Nur Maimunah. Ayahnya merupakan seorang petani & kusir dokar yang juga merangkap sebagai sekretaris desa pada
waktu itu. Asy’ari mengenyam pendidikan untuk pertama kali di Sekolah Rakyat
setingkat dengan Sekolah Dasar, setelah tamat dari SR selama 6 tahun, beliau melanjutkan
pendidikannya di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang dibawah asuhan Mbah Idris
(menantu KH. Hasyim Asy’ari) selama belasan tahun, beliau nyantri di Tebuireng bersama dengan
tiga saudaranya (Fathah, M Ali Gauzi, Suhaimi),
Karena kondisi ekonomi keluarga yang
pas-pas-an ditambah dengan jumlah keluarga yang cukup besar beliau menjadi
terbiasa dengan segala keterbatasan, beliau pernah menjadi buruh masak kepada
teman-temannya, ikut mengajar di Madrasah Ibtidaiyah di desa Keras yang tidak
jauh dari Tebuireng. Sehingga keseharian beliau sewaktu dipondok menjadikan beliau
terbiasa dengan keadaan yang serba sederhana ketika sudah dirumah.
Setelah menuntaskan belajar di
Tebuireng beliau kembali ke rumah, tidak lama setelah itu beliau mengajar di MI
Ma’arif Legok & MI Ma’arif Gempol, kemudian pada tahun 1964 beliau menikah
dengan seorang perempuan tetangga desa yang bernama Nur Hasanah, dari
pernikahan ini beliau memiliki dua orang putri yakni Wiwik Wahyuni, dan Lilik
Lutfiyah. Mengingat kebutuhan setelah menikah lebih besar maka beliau disamping
mengajar juga berdagang makanan-makanan pokok seperti beras, kedelai, jagung,
ubi, dll, ditambah juga penghasilan dari toko
kecil di depan rumah.
Beliau juga aktif di organisasi islam Anshor,
sewaktu pemberontakan G30S PKI beliau
turut aktif berjuang melawan gerakan PKI. Pada tahun 1970, berawal dari
pamannya yang bernama H. Arsyad yang berwasiat kepada istrinya Hj Fatimah untuk
mengajak Asy’ari pindah ke desa Gempol
guna mengajar ngaji dan menadhiri musholla. Setelah pindah ke Gempol, Asy’ari
bersama istri mengajar al-qur’an kepada pemuda2 sekitar desa. Semenjak di
Gempol beliau tidak lagi berdagang makanan pokok, melainkan berdagang emas.
Akan tetapi semenjak berdagang emas beliau banyak meningalkan aktivitas rutin
beliau sebagai guru ngaji, pada akhirnya abahnya meminta Asy’ari untuk tidak
usah lagi berdagang emas, agar fokus mengajar ngaji, termasuk ulama’
kharismatik atau orang Gempol biasa menyebut wali yaitu Mbah Ali Mas’ud
Kedungcangkring yang sekarang makamnya di Desa Pagerwojo Sidoarjo yang banyak
diziarohi oleh kaum muslimin meminta kepada Asy’ari “Tolong aku tukokno
urang payamahan”, kemudian beliau merenungkan alamat apa yang disampaikan
oleh Mbah Ud. Baru kemudian Asy’ari dapat menerjemahkan alamat tersebut setelah
kehilangan emas dagangannya sebanyak 1 kg lebih, setelah itu beliau kembali
lagi sebagai guru dan terus mengajar ngaji
Semakin lama semakin banyak pemuda yang
ikut mengaji kepada beliau, bahkan dari desa lain pun juga berdatangan untuk
mendapatkan ilmu dari beliau. Bahkan tidak jarang dari para santri yang ikut
bermalam di rumah beliau yang kemudian pulang pada sore harinya. Di mulai pada
tahun 1983 ada beberapa santri yang menetap belajar di kerdiaman beliau, baru
pada tahun 1985 pengajaran dirumah beliau di akte notariskan dengan nama
yayasan Al-Arif, setelah itu pada tahun 1986 beliau membangun beberapa ruang untuk
tempat tinggal & belajar para santri, sehingga berkembanglah sampai
sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar