Dia mengetahui masa depan seseorang, tapi dia tidak
berhasil meyakinkan muridnya agar menggantikannya memimpin pesantren. Ketika
menjadi santri di pesantren Langitan, Tuban, Kiai Zainuddin yang asal Padangan,
Bojonegoro diambil menantu oleh pengasuh pondok tersebut, dan diminta untuk
meneruskan kepemimpinan Pondok Mojosari. Ini merupakan tradisi di kalangan para
ulama. Dengan demikian, Zainuddin merupakan urutan kelima pondok tersebut sejak
KH Ali Imron, sang pendiri, di bawah kepemimpinannya, Ponpes Mojosari mencapai
kejayaannya.
Pada gilirannya, Kiai Zainuddin pun mengikuti
tradisi tersebut dengan mengambil murid terpandai sebagai menantu. Dan murid
itu adalah Jazuli Utsman, tapi sang murid menolak dengan alasan akan membuka
pesantren di Ploso tempat kelahirannya. Ketika hal itu sampai ke telinga KH.
Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang, ulama kharismatis ini berkunjung ke Mojosari
dan berusaha menjernihkan masalah. “Anda harus bangga punya murid yang bisa
mandiri dan membuka pesantren sendiri. Relakan dia berkiprah di kampungnya.”
Tutur Hadratus Syaikh lembut. Maka cairlah kesalahpahaman itu, dan dia memberi
restu kepada Jazuli, murid kebanggaanya itu.
Meski di kenal sebagai Waliyullah, kegiatan KH
Zainuddin sehari-hari tak jauh berbeda dengan petani pada umumnya, tapi ia
terkenal sangat disiplin dan istiqamah. Jam 22.00 setelah selesai mengajar
dimalam hari, sang kiai istirahat hingga jam 02.00 lalu shalat tahajjud,
membaca Al Qur’an atau melakukan ibadah-ibadah lain yang bertujuan mendekatkan
diri kepada Allah hingga menjelang subuh. Namun adakalanya, sembil menanti
subuh, dia berputar-putar mengelilingi pekarangan yang banyak ditumbuhi pohon
buah-buahan, dikumpulkannya buah sawo, jambu dan buah-buahan lainnya yang
berjatuhan untuk makanan ternak. Setelah itu barulah dia membangunkan para
santri di pondok dengan menyebut nama mereka satu per satu.
Usai shalat Subuh, kegiatan dilanjutkan dengan
pengajian, dari kitab yang kecil maupun besar. Sekitar jam 07.00 diambilnya
sapu lidi, dan dengan sigap ia membersihkan halaman rumah sampai ke kandang
kuda, sapi, kambing dan ayam. Kalau perlu, dia juga turut memberi makan
binatang-binatang ternak piaraannya, kiai Zainuddin termasuk penyayang binatang
dan rajin menjaga kebersihan lingkungan. Dia juga pengamal dan penganjur sunnah
Rasul. Itu terlihat dari nasihatnya kepada para santri agar tidak melupakan
ayat “ Ata’murunannasa bil birri wa tansauna anfusakum”, yang artinya “Apakah
kamu perintahkan orang lain untuk berbuat baik padahal kamu melupakan dirimu
sendiri”.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup, Kiai Zainuddin
bekerja keras, mengayun cangkul, menanam singkong, jagung atau pisang. Dan
untuk keperluan kesehatan, dia juga membuat apotek hidup dihalaman rumahnya.
Pada suatu hari, KH. Hasyim Asy’ari membuat surat edaran untuk meluruskan
kegiatan perayaan maulid Nabi, berhubung maulidan di pesantren Mojosari dinilai
kurang islami. Konon, para santri Mojosari menggelar pertunjukan wayang wong,
ketoprak, kuda lumping dan pencak silat ketika mengadakan maulidan. Ketika
surat itu akan dikirim, malam harinya kiai Hasyim bermimpi, alim ulama seluruh
Indonesia shalat berjama’ah di sebuah masjid. Dengan jelas dia melihat bahwa
yang menjadi imamnya adalah KH Zainuddin Mojosari, maka dia mengurungkan
niatnya mengedarkan surat edaran tersebut karena segan dan sangat menghargai
kiai Zainuddin. Ini menunjukan betapa tingginya posisi KH Zainuddin di mata
ulama lainnya. Ini adalah `adah atau keluarbiasaan sang kiai.
Keluarbiasaan yang lain, demikian tingginya mata
batin kiai Zainuddin, sehingga dia dapat mengetahui muridnya bakal menjadi
ulama besar, itu terjadi pada diri Jazuli Utsman, anak Muhammad Utsman, seorang
naib dari Desa Ploso, Kediri. Konon, Jazuli sudah berada di Batavia untuk masuk
Stovia, sekolah kedokteran tempo dulu. Ketika Kiai Zainuddin mengetahui hal
itu, ia segera menemui naib Utsman dan minta agar Jazuli ditarik pulang. “Dia
tidak cocok sekolah disana,” ujarnya mengingatkan. Karena yang menyuruh adalah
seorang kiai besar, Naib Utsman tidak berani menolak, dikirimnya surat ke
Batavia dengan pesan agar Jazuli segera pulang atas saran Kiai Zainuddin.
Jazuli sendiri ketika menerima surat itu dapat memahami keputusan tersebut
dengan legawa, meski ia telah bermukim disana selama beberapa bulan.
Kenyataannya memang demikian, Jazuli Utsman akhirnya
dikenal sebagai ulama, pemimpin Pondok Pesantren Ploso, Kediri. “Cepat datang
ke mojosari” perintahnya kepada Jazuli, sebab dia tinggal di luar pondok karena
kemampuan finansialnya tidak mengizinkan tinggal di pondok. “saya tidak punya
uang, kiai” jawab Jazuli polos. “Sudahlah, nanti kamu akan menjadi blawong”
kata pak kiai. Jazuli tidak mengerti apa arti blawong, makanya dia diam saja.
Yang terpikir di benaknya adalah posisinya yang serba sulit. Kalau masuk ke
pondok, kiriman uang dari rumah tidak cukup, tapi kalau tetap di luar pondok,
berarti tidak taat pada gurunya. Oleh karena itu, predikat blawong hanya
melintas sekilas di benaknya. Ia tahu bahwa kiai sering memanggil para santri
dengan nama julukan daripada nama sebenarnya. Dan julukan itu dibuat sang kiai
sesukanya sendiri. Namun hal itu bukan di anggap kelakar, karena di yakini
dapat menembus hal-hal yang bersifat batiniah, termasuk masa depan santrinya.
Sumber yang lain mengungkapkan, sebelum Jazuli di
Ploso dan mengatakan, “Jazuli itu nanti akan jadi blawong, jadi agar di
perhatikan kebutuhannya. ” Uniknya ketika Jazuli menghadap kepadanya, bukannya
Jazuli yang menyampaikan salam dari orang tuanya, melainkan Kiai Zainuddin yang
mengawali pembicaraan dengan kata-kata, “salam dari ibu bapakmu.” Rupanya
permintaan Kiai Zainuddin agar Jazuli pindah ke pondok, bukan basa-basi. Sampai
tiga kali hal itu di kemukakan, sehingga akhirnya Jazuli tinggal di pondok
menanti perintah gurunya. Ia di tempatkan disebuah kamar bersama tiga santri
lainnya yang merupakan murid-murid kesayangannya. Kelak, mereka ini menjadi
kiai yang sukses di desanya masing-masing.
Nama kiai Jazuli Utsman sangat terkenal, dan
jauh-jauh hari telah di ketahui oleh Kiai Zainuddin bahwa ia bakal menjadi seorang
ulama besar, dengan menjulukinya blawong, ternyata blawong adalah nama
panggilan seekor burung perkutut mahal yang bunyinya sangat indah dan merdu di
kerajaan Majapahit, sehingga semua orang menyimak kicaunya. Ketenaran Kiai
Zainuddin menjadi daya tarik masyarakat awam untuk datang ke pesantrennya.
Mereka berdatangan dari berbagai penjuru, minta doa dan berkah serta
keselamatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar