Pages

Jumat, 27 Juni 2014

Cicak-cicak di Dinding by : Ust. Salim A Fillah

Persembahan Ust. Salim A Fillah

LLK 2a
Barangsiapa memperbagus hal-hal tersembunyinya, niscaya Allah jelitakan apa yang tampak dari dirinya.
Barangsiapa memperbaiki hubungannya dengan Allah, niscaya Allah baikkan hubungannya dengan sesama.
Barangsiapa disibukkan oleh urusan agamanya, maka Allah yang kan mencukupinya dalam perkara dunia.
-‘Umar ibn ‘Abdil ‘Aziz-
Seandainya kita adalah seekor cicak, mungkin sudah sejak dulu kita berteriak, “Ya Allah, Kau salah rancang dan keliru cetak!”

Sebab cicak adalah binatang dengan kemampuan terbatas. Dia hanya bisa merayap meniti dinding. Langkahnya cermat. Jalannya hati-hati. Sedang semua yang ditakdirkan sebagai makanannya, memiliki sayap dan mampu terbang ke mana-mana. Andai dia berfikir sebagai manusia, betapa nelangsanya. “Ya Allah”, mungkin begitu dia mengadu, “Bagaimana hamba dapat hidup jika begini caranya? Lamban saya bergerak dengan tetap harus memijak, sedang nyamuk yang lezat itu melayang di atas, cepat melintas, dan ke manapun bebas.” Betapa sedih dan sesak menjadi seekor cicak.

Tapi mari ingat sejenak bahwa ketika kecil dulu, orang tua dan guru-guru mengajak kita mendendang lagu tentang hakikat rizqi. Lagu itu berjudul, ‘Cicak-cicak di Dinding’.

Bahwa tugas cicak memang hanya berikhtiar sejauh kemampuan. Karena soal rizqi, Allah lah yang memberi jaminan. Maka kewajiban cicak hanya diam-diam merayap. Bukan cicak yang harus datang menerjang. Bukan cicak yang harus mencari dengan garang. Bukan cicak yang harus mengejar dengan terbang.

“Datang seekor nyamuk.”

Allah Yang Maha Mencipta, tiada cacat dalam penciptaanNya. Allah Yang Maha Kaya, atasNya tanggungan hidup untuk semua yang telah dijadikanNya. Allah Yang Maha Memberi Rizqi, sungguh lenyapnya seisi langit dan bumi tak mengurangi kekayaanNya sama sekali. Allah Yang Maha Adil, takkan mungkin Dia bebani hambaNya melampaui kesanggupannya. Allah Yang Maha Pemurah, maka Dia jadikan jalan karunia bagi makhluqNya amatlah mudah.

“Datang seekor nyamuk.”

Allah yang mendatangkan rizqi itu. Betapa dibanding ikhtiyar cicak yang diam-diam merayap, perjalanan nyamuk untuk mendatangi sang cicak sungguh lebih jauh, lebih berliku, dan lebih dahsyat. Jarak dan waktu memisahkan keduanya, dan Allah dekatkan sedekat-dekatnya. Bebas si nyamuk terbang ke mana jua, tapi Allah bimbing ia supaya menuju pada sang cicak yang melangkah bersahaja. Ia tertakdir dengan bahagia, menjadi rizqi bagi sesama makhluqNya, sesudah juga menikmati rizqi selama waktu yang ditentukanNya.

“Dan tiada dari segala yang melata di bumi melainkan atas tanggungan Allah lah rizqinya. Dia Maha Mengetahui di mana tempat berdiam dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab Lauhul Mahfuzh yang nyata.” (QS Huud [11]: 6)

Daabbah”, demikian menurut sebagian Mufassir, “Adalah kata untuk mewakili binatang-binatang yang hina bersebab rendahnya sifat mereka, terbelakang cara bergeraknya, kotor keadaannya, liar hidupnya, dan bahkan bahaya dapat ditimbulkannya.” Allah menyebut daabbah di ayat ini, seakan-akan untuk menegaskan; jika binatang-binatang rendahan, terbelakang, kotor, liar, dan berbahaya saja Dia jamin rizqinya, apatah lagi manusia.

***

“Sesungguhnya rizqi memburu hamba”, demikian sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sebagaimana dicatat oleh Imam Ath Thabrani, “Lebih banyak dari kejaran ajal terhadapnya.”

Ini kisah sebutir garam. Titah Ar Rahman kepadanya adalah untuk mengasinkan lidah dan mengisi darah seorang hamba hina bernama Salim, yang tinggal di Yogyakarta. Betapa jauh baginya, sebab ia masih terjebak di dalam ombak, di Laut Jawa yang bergolak.

Setelah terombang-ambing bersama penantian yang panjang, angin musim bergerak ke timur, menggesernya pelan-pelan menuju pesisir Madura. Dan petani-petani garam di Bangkalan, membelokkan arus air ke tambak-tambak mereka. Betapa bersyukur sebutir garam itu saat ia mengalir bersama air memasuki lahan penguapan. Penunaian tugasnya kian dekat.

Tiap kali terik mentari menyinari, giat para petambak itu menggaru ke sana kemari, agar bebutir yang jutaan jumlahnya kian kering dan mengkristal. Sebutir garam yang kita tokohkan dalam cerita ini, harap-harap cemas semoga ia beruntung dimasukkan ke dalam karung goni. Sebab sungguh, ada bebutir yang memang tugasnya berakhir di sini. Tertepikan bersama becekan lumpur di sudut-sudut ladang garam.

Dan dia terpilih, terbawa oleh para pengangkut ke pabrik pemurnian di Pamekasan. Sebakda melalui serangkaian pembasuhan dan pengisian zat-zat yang konon mendukung kesehatan, dia dikemas rapi, digudangkan untuk menunggu pengepakan dan pengiriman. Betapa masih panjang jalannya, betapa masih lama berjumpa dengan sosok yang ia dijatahkan sebagai rizqi baginya.

Ringkasnya, setelah berbulan, ia malang melintang menuju Jakarta, lalu Semarang, sebelum akhirnya tiba di Yogyakarta. Dari pasar induknya, terlempar ia ke pasar kota, baru diambil pedagang pasar kecamatan akhirnya. Lalu terkulaklah ia oleh pemilik warung kecil, yang rumahnya sebelah-menyebelah dengan makhluq yang ditujunya. Kian dekat, makin rapat.

Ketika seorang wanita, istri dari lelaki yang akan ia tuju dalam amanah yang diembannya, membeli dan menentengnya pulang, betapa haru rasanya. Masuklah ia ke dalam masakan lezatnya, berenang dan melarutkan dirinya. Lalu terdengar suara, “Sayang, silakan sarapan. Masakannya sudah siap.” Dan lelaki itu, bergerak pelan dari kamarnya, menjemputnya dengan sebuah suapan yang didahului doa.

Segala puji bagi Allah, yang memberi titah untuk mengasinkan lidah dan mengisi darah. Segala puji bagi Allah, yang mengatur perjumpaannya dengan makhluq ini sesudah perjalanan yang tak henti-henti. Segala puji bagi Allah, yang menyambutkan doa bagi tunainya tugas yang diembannya.

***

Betapa jarang kita mentafakkuri rizqi. Seakan semua yang kita terima setiap hari adalah hak diri yang tak boleh dikurangi. Seakan semua yang kita nikmati setiap hari adalah jatah rutin yang murni dan tak boleh berhenti. Seakan semua yang kita asup setiap hari adalah memang begitulah adanya lagi tak boleh diganggu gugat.

Padahal, hatta sebutir garampun adalah rizqi Allah yang menuntut disyukuri.
Hatta sebutir garam, menempuh perjalanan yang tak mudah lagi berbulan, untuk menemui pengasupnya yang hanya berpindah dari kamar tidur ke ruang makan. Betapa kecil upaya kita, dibandingkan cara Allah mengirimkan rizqiNya. Kita baru merenungkan sebutir garam, bagaimanakah bebijian, sayur, ikan, dan buahnya? Bagaimanakah katun, wol, dan sutranya? Bagaimanakah batu, kayu, pasir, dan gentingnya? Bagaimanakah besi, kaca, dan karet rodanya?

Maka seorang ‘Alim di Damaskus suatu hari berkata tentang sarapannya yang amat bersahaja, “Gandum dari Najd, garam dari Marw, minyak dari Gaza, dan air Sungai Yordan. Betapa hamba adalah makhluqMu yang paling kaya wahai Rabbana!”

Dia mengingatkan kita pada sabda Rasulullah. “Bukanlah kekayaan itu dari banyaknya bebarang harta”, demikian yang direkam Imam Al Bukhari dan Imam Muslim, “Kekayaan sesungguhnya adalah kayanya jiwa.”

Akhirnya, mari kita dengarkan sang Hujjatul Islam. “Boleh jadi kau tak tahu di mana rizqimu”, demikian Imam Al Ghazali berpesan, “Tetapi rizqimu tahu di manakah engkau. Jika ia ada di langit, Allah akan memerintahkannya turun untuk mencurahimu. Jika ia ada di bumi, Allah akan menyuruhnya muncul untuk menjumpaimu. Dan jika ia berada di lautan, Allah akan menitahkannya timbul untuk menemuimu.”

Di lapis-lapis keberkahan, ada keyakinan utuh yang harus ditanamkan, bahwa Allah Yang Mencipta, menjamin rizqi bagi ciptaanNya.

***

Ada dua cara Allah mengaruniakan rizqi dalam dua keadaan yang dialami oleh Maryam binti ‘Imran, salah satu wanita termulia sepanjang zaman.

Kita mengenang, betapa agung nadzar istri ‘Imran untuk menjadikan buah hati yang dikandungnya sebagai pengkhidmah di Baitul Maqdis. Yang dia bayangkan adalah seorang anak lelaki yang akan menjadi imam ibadah di Al Quds, pengurai Taurat yang fasih, dan pembimbing ummat yang penuh teladan. Tetapi Allah yang Maha Berkehendak mengaruniakan anak perempuan.

“Maka Rabbnya menerima nadzar keluarga ‘Imran dengan penerimaan yang baik. Allah tumbuhkan dan didik Maryam dengan pengasuhan yang bagus, dan Allah jadikan Zakaria sebagai penanggungjawab pemeliharaannya. Setiap kali Zakaria masuk menemuinya di dalam mihrab, dia dapati ada rizqi di sisinya. Berkatalah dia, “Hai Maryam, dari manakah kaudapatkan ini?” Maryam menjawab, “Ia dari sisi Allah.” Sesungguhnya Allah mengaruniakan rizqi pada siapapun yang dikehendakiNya tanpa hisab.” (QS Ali ‘Imran [3]: 37)

Betapa jua, Allah Yang Maha Tahu tetap menerima nadzar itu. Maka sang Bunda membawa bayi Maryam ke Baitul Maqdis di mana para pemuka Bani Israil, Ahbar, dan para Rahib berkumpul, berharap untuk mendapatkan hak asuh atas Maryam yang yatim. Ketika mereka melemparkan pena-pena dalam undian, Allah mengamanahkan Maryam pada Zakaria.

Maryam tumbuh di lingkungan yang baik, dengan ta’dib yang baik, dibimbing insan terbaik. Jadilah dia seorang ahli ‘ibadah di Mihrab Baitul Maqdis, menjaga kesuciannya, mengkhidmahkan diri untuk rumah Allah. Dengan keyakinan utuh akan kuasa dan kemurahan Rabbnya, bahkan seorang Nabi tertakjub-takjub melihat limpahan anugerah Allah bagi gadis suci ini.

Tapi setiap insan diuji Allah dengan karunia terkait apa yang paling dijunjung tinggi oleh jiwanya. Pun juga Maryam yang begitu taat beribadah, yang lahir batin menjaga kebersihan dirinya, yang kudus dalam hati, fikiran, serta perbuatannya. Allah memilihnya untuk mengandung bayi ajaib, yang tercipta tanpa Ayah, yang menghuni rahimnya tanpa dia terlebih dulu disentuh seorang pria.

Karunia mengandung ujian, dan ujian mengandung karunia. Demikianlah hakikatnya.
Inilah dia di hari itu, berada di tempat yang jauh ke timur, sekira 8 mil dari Mihrabnya di Baitul Maqdis. “Dapatlah kita merasakan”, demikian ditulis Buya Hamka dalam Tafsir Al Azhar, “Bahwa hidup Maryam ketika itu memang tersisih jauh dari kaum keluarga. Kegelisahan diri karena terpaan sakit dan kejang yang bertubi datang sebagaimana lazimnya wanita yang akan melahirkan menyebabkan dia mencari tempat yang sunyi dan teduh.”

“Maka rasa sakit menjelang persalinan memaksanya bersandar pada pangkal pohon kurma. Dia berkata, “Aduhai celaka, alangkah baik seandainya aku mati sebelum ini, dan aku menjadi barang yang tak berarti, lagi dilupakan.” (QS Maryam [20]: 23)

Di bawah naungan pohon itu, perasaannya mengawang, fikirannya melayang. Bahwa anak itu akan lahir, tapi tiada ayah baginya. “Adapun Maryam sendiri percaya bahwa ini adalah kehendak Allah”, lanjut Buya Hamka, “Tetapi apakah kaumnya akan percaya? Siapa pula yang akan percaya? Sepanjang zaman, belum pernah ada perawan yang hamil serta beranak tanpa ada lelaki yang menjadi bapak.”

Maka terlontarlah kalimat yang menyiratkan sesalan atas ketetapan Allah itu, bersebab rasa berat yang menekan-nekan hati dan menyesakkan dadanya. “Aduhai celaka, alangkah baik seandainya aku mati sebelum ini”, seru Maryam. Yakni sebelum dirinya hamil dengan cara ganjil yang sukar dijelaskan pada kaum Bani Israil yang sebagiannya suka usil.

“Dan aku menjadi barang yang tak berarti lagi dilupakan”, lanjut keluhan Maryam. Sungguh Maryam berharap tidak ada insan yang tahu, tidak ada siapapun yang mengenal, dan tidak sampai menjadi buah mulut orang-orang. “Memang”, jelas Buya Hamka, “Jikalau pencobaan telah memuncak sedemikian rupa, datang saat manusia merasa lebih baik mati saja.”
Allah Maha Mendengar, lagi Maha Mengetahui.

“Maka Jibril menyerunya dari tempat yang rendah, “Janganlah engkau bersedih hati. Sesungguhnya Rabbmu telah menjadikan anak sungai di bawahmu. Dan goyangkanlah pangkal pohon kurma itu ke arahmu. Niscaya ia akan menggugurkan buah kurma yang masak kepadamu.” (QS Maryam [20]: 24-25)

Yang pernah bertamu pada Allah dan menjenguk Rasulullah, pastinya telah melihat pohon kurma. Kokoh, gagah, tinggi, dan berruas-ruas sisa tandan di bagian bawahnya. Di Madinah Al Munawwarah, kami pernah mencoba menggoyangkannya, dan batang itu tak bergeming sedikitpun juga. Maka bayangkanlah perempuan yang lemah berdarah-darah setelah melahirkan, serta berada dalam perasaan tak karuan, yang terharuskan mengguncangnya agar buah ranumnya jatuh ke bumi.
Inilah ikhtiyar. Bagi Maryam, ia berat dan sukar.

Tapi iman memanglah yang utama, mentaati Allah harus jadi yang mula-mula. Maka dengan kemurahan dan kasihNya, saat Maryam menghabiskan seluruh sisa tenaganya untuk menggerakkan pangkal pokok yang besar itu, satu demi satu, ruthab pun lepas dari tangkainya.

Sebagian ‘ulama menyatakan, tak sebagaimana ketika dia berada di Mihrab dengan iman yang berseri-seri dan ibadah yang terjaga sekali, ucapan Maryam yang menyesali diri menunjukkan ketaksempurnaan penerimaannya akan ketetapan Allah. Hal itulah yang membuatnya tak mendapat rizqi yang langsung tersaji dari langit, namun harus mengupayakannya dengan meengguncang pokok kurma agar kurma basah di atas sana jatuh ke arahnya.

Allah menjamin rizqi Maryam dalam dua keadaan dengan dua cara penganugrahan. Lalu kita tahu, di lapis-lapis keberkahan, keyakinan yang tak lagi utuh, menambahkan peluh pada jalan ikhtiyar yang harus kita tempuh.

Rabu, 25 Juni 2014

MENGUAK RAHASIA MUHAMMADIYAH SELALU NAMPAK BEDA DENGAN NAHDLATUL ULAMA (NU)


KH. Ahmad Dahlan dan KH. Hasyim Asy’ari itu sekawan, sama-sama menunut ilmu agama di Arab Saudi. Sama-sama ahli hadits dan sama-sama ahli fikih. Saat hendak pulang ke tanah air, keduanya membuat kesepakatan menyebarkan Islam menurut skil dan lingkungan masing-masing. Kiai Ahmad bergerak di bidang dakwah dan pendidikan perkotaan, karena berasal dari Kuto Ngayogyokarto. Sementara Kiai Hasyim memilih pendidikan pesantren karena wong ndeso, Jombang. Keduanya adalah orang hebat, ikhlas dan mulia.

Keduanya memperjuangkan kemerdekaan negeri ini dengan cara melandasi anak bangsa dengan pendidikan dan agama. Kiai Ahmad mendirikan organisasi Muhammadiyah dan Kiai Hasyim mendirikan Nahdlatul Ulama (NU). Saat beliau berdua masih hidup, tata ibadah yang diamalkan di masyarakat umumnya sama meski ada perbedaan yang sama sekali tidak mengganggu. Contoh kesamaan praktek ibadah kala itu antara lain:
1. Shalat Tarawih sama-sama 20 rakaat. Kiai Ahmad Dahlan sendiri disebut-sebut sebagai imam shalat Tarawih 20 rakaat di Masjid Syuhada Yogya.
2. Talqin mayit di kuburan, bahkan ziarah kubur dan kirim doa dalam Yasinan dan tahlilan.
3. Baca doa Qunut Shubuh.
4. Sama-sama gemar membaca shalawat (Diba’an).
5. Dua kali khutbah dalam shalat Ied, Iedul Fithri dan Iedul Adha.
6. Tiga kali takbir, “Allah Akbar”, dalam takbiran.
7. Kalimat iqamah (qad qamat ash-shalat) diulang dua kali.
8. Dan yang paling monumental adalah itsbat hilal, sama-sama pakai rukyah. Yang terakhir inilah yang menarik direnungkan, bukan dihakimi mana yang benar dan mana yang salah.

Semua amaliah tersebut di atas berjalan puluhan tahun dengan damai dan nikmat. Semuanya tertulis dalam kitab Fiqih Muhammadiyah yang terdiri dari 3 jilid, yang diterbitkan oleh: Muhammadiyah Bagian Taman Pustaka Jogjakarta, tahun 1343-an H. Namun ketika Muhammadiyah membentuk Majlis Tarjih, di sinilah mulai ada penataan praktek ibadah yang rupanya “harus beda” dengan apa yang sudah mapan dan digariskan oleh pendahulunya. Otomatis berbeda pula dengan pola ibadahnya kaum Nahdhiyyin. Perkara dalail (dalil-dalil), nanti difikir bareng dan dicari-carikan.

Disinyalir, tampil beda itu lebih dipengaruhi politik ketimbang karena keshahihan hujjah atau afdhaliah ibadah. Untuk ini, ada sebuah tesis yang meneliti hadits-hadits yang dijadikan rujukan Majlis Tarjih Muhammadiyah dalam menetapkan hukum atau pola ibadah yang dipilih.

Setelah uji takhrij berstandar mutawassith, kesimpulannya adalah: bahwa mayoritas hadits-hadits yang dipakai hujjah Majlis Tarjih adalah dha’if. Itu belum dinaikkan pakai uji takhrij berstandar mutasyaddid versi Ibn Ma’in. Hal mana, menurut mayoritas al-Muhadditsin, hadis dha’if tidak boleh dijadikan hujjah hukum, tapi ditoleransi sebagai dasar amaliah berfadhilah atau fadhail al-a’mal. Tahun 1995an, Penulis masih sempat membaca tesis itu di perpustakaan Pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

Soal dalil yang dicari-carikan kemudian tentu berefek pada perubahan praktek ibadah di masyarakat, kalau tidak disebut sebagai membingungkan. Contoh, ketika Majlis Tarjih memutuskan jumlah rakaat shalat Tarawih 8 plus 3 witir, bagaimana prakteknya?

Awal-awal instruksi itu, pakai komposisi: 4, 4, 3. Empat rakaat satu salam, empat rakaat satu salam. Ini untuk Tarawih. Dan tiga rakaat untuk Witir. Model Witir tiga sekaligus ini versi madzhab Hanafi. Sementara wong NU pakai dua-dua semua dan ditutup satu Witir. Ini versi asy-Syafi’i.

Tapi pada tahun 1987, praktek shalat Tarawih empat-empat itu diubah menjadi dua-dua. Hal tersebut atas seruan KH. Shidiq Abbas Jombang ketika halaqah di Masjid al-Falah Surabaya. Beliau tampilkan hadits dari Shahih Muslim yang meriwayatkan begitu. Karena, kualitas hadits Muslim lebih shahih ketimbang hadits empat-empat, maka semua peserta tunduk. Akibatnya, tahun itu ada selebaran keputusan Majlis Tarjih yang diedarkan ke semua masjid dan mushalla di lingkungan Muhammadiyah, bahwa praktik shalat Tarawih pakai komposisi dua-dua, hingga sekarang, meski sebagian masih ada yang tetap bertahan pada empat-empat. Inilah fakta sejarah.

Kini soal itsbat hilal pakai rukyah. Tolong, lapangkan dada sejenak, jangan emosi dan jangan dibantah kecuali ada bukti kuat. Semua ahli falak, apalagi dari Muhammadiyah pasti mengerti dan masih ingat bahwa Muhammadiyah dulu dalam penetapan hilal selalu pakai rukyah bahkan dengan derajat cukup tinggi. Hal itu berlangsung hingga era orde baru pimpinan Pak Harto. Karena orang-orang Muhammdiyah menguasai Departemen Agama, maka tetap bertahan pada rukyah derajat tinggi, tiga derajat ke atas dan sama sekali menolak hilal dua derajat. Dan inilah yang selalu dipakai pemerintah. Sementara ahli falak Nadhliyyin juga sama menggunakan rukyah tapi menerima dua derajat sebagai sudah bisa dirukyah. Dalil mereka sama, pakai hadits rukyah dan ikmal.

Oleh karena itu, tahun 90-an, tiga kali berturut-turut orang NU lebaran duluan karena hilal dua derajat nyata-nyata sudah bisa dirukyah, sementara Pemerintah-Muhammadiyah tidak menerima karena standar yang dipakai adalah hilal tinggi dan harus ikmal atau istikmal. Ada lima titik atau lebih tim rukyah gabungan menyatakan hilal terukyah, tapi tidak diterima oleh Departemen Agama, meski pengadilan setempat sudah menyumpah dan melaporkan ke Jakarta. Itulah perbedaan standar derajat hilal antara Muhammadiyah dan NU. Masing-masing bertahan pada pendiriannya.

Setelah pak Harto lengser dan Gus Dur menjadi presiden, orang-orang Muhammadiyah berpikir cerdas dan tidak mau dipermalukan di hadapan publiknya sendiri. Artinya, jika masih pakai standar hilal tinggi, sementara mereka tidak lagi menguasai pemeritahan, pastilah akan lebaran belakangan terus. Dan itu berarti lagi-lagi kalah start dan kalah cerdas. Maka segera mengubah mindset dan pola pikir soal itsbat hilal. Mereka tampil radikal dan meninggalkan cara rukyah berderajat tinggi. Tapi tak menerima hilal derajat, karena sama dengan NU.

Lalu membuat metode “wujud al-hilal”. Artinya, pokoknya hilal menurut ilmu hisab atau astronomi sudah muncul di atas ufuk, seberapapun derajatnya, nol koma sekalipun, sudah dianggap hilal penuh atau tanggal satu. Maka tak butuh rukyah-rukyahan seperti dulu, apalagi tim rukyah yang diback up pemerintah. Hadits yang dulu dielu-elukan, ayat al-Quran berisikan seruan “taat kepada Allah, RasulNya dan Ulil Amri” dibuang dan alergi didengar. Lalu dicari-carikan dalil baru sesuai dengan selera.

Populerkah metode “wujud al-hilal” dalam tradisi keilmuwan falak? Sama sekali tidak, baik ulama dulu maupun sekarang.

Di sini, Muhammdiyah membuat beda lagi dengan NU. Kalau dulu, Muhammadiyah hilal harus derajat tinggi untuk bisa dirukyah, hal mana pasti melahirkan beda keputusan dengan NU, kini membuang derajat-derajatan secara total dan tak perlu rukyah-rukyahan. Menukik lebih tajam, yang penting hilal sudah muncul berapapun derajatnya. Sementara NU tetap pada standar rukyah, meski derajat dua atau kurang sedikit. Tentu saja beda lagi dengan NU. Maka, selamanya takkan bisa disatukan, karena sengaja harus tampil beda. Dan itu sah-sah saja.

Dilihat dari fakta sejarah, pembaca bisa menilai sendiri sesungguhnya siapa yang sengaja membuat beda, sengaja tidak mau dipersatukan, siapa biang persoalan di kalangan umat?
Menyikapi lebaran dua versi, warga Muhammadiyah pasti bisa tenang karena sudah biasa diombang-ambingkan dengan perubahan pemikiran pimpinannya. Persoalannya, apakah sikap, ulah atau komentar mereka bisa menenangkan orang lain?
Perkara dalil nash atau logika, ilmu falak klasik atau neutik, rubu’ atau teropong modern sama-sama punya. Justeru, bila dalil-dalil itu dicari-cari belakangan dan dipaksakan, sungguh mudah sekali dipatahkan.
Hebatnya, semua ilmuwan Muhammadiyah yang akademis dan katanya kritis-kritis itu bungkam dan tunduk semua kepada keputusan Majlis Tarjih. Tidak ada yang mengkritik, padahal kelemahan akademik pasti ada. (Diedit ulang dari tulisan Ustadz Sulaiman Timun Mas).

Sya’roni As-Samfuriy, Cikarang 25 Juni 2014

Senin, 16 Juni 2014

Qolbu Shofy

Hati yang bersih, sulit untuk mencaci orang lain dan memuja diri sendiri.

Dirinya selalu waspada akan jiwanya, apakah ia telah bebas dari segala nafsu angkara murka ataukah mengekor selalu dengan kemauan hawa nafsunya.

Tak kuasa lagi mencaci sesama, meski ia beda agama dan kepercayaan yang ada.
Doanya selalu baik untuk semua.

Sampai para penikmat clubbing, pemabuk dan lainnya selalu dalam doanya.


" Duh Gusti, Kalau memang ia sangat menikmati yang Engkau larang didunia ini seperti halnya menikmati surga_Mu, jangan Engkau halangi mereka semua untuk merasakan nikmat surga_Mu kelak''.


" Dzikir kopi, kopi dzikir ".
03.39 Makkah almukarromah 17 sya'ban 1435 H

by : Ibnu Alwan Ahmad

Sabtu, 14 Juni 2014

يَا هَنَانَــــــــا بِمُحَمَّد

Suatu ketika, Sayyidatuna Aisyah RA tengah duduk bersama Nabi Muhammad saw, tiba-tiba Nabi Muhammad saw mendoakan Sayyidatuna Aisyah.

Di dalam doanya, beliau mengatakan, “Ya Allah ampuni Aisyah, segala dosa-dosanya yang terdahulu, yang akan datang, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan.”

Mendengar doa tersebut, Sayyidatuna Aisyah tertawa bahagia, hingga kepalanya menunduk sampai ke bawah karena tawanya.

"Ya, Aisyah, engkau bahagia dengan doaku?" tanya Nabi Muhammad saw. kepada istrinya yang berjuluk humaira itu.

“Ya, Rasulullah, bagaimana aku tidak bahagia. Engkau mendoakan aku dengan doa yang demikian agung?
"Demi Allah, wahai Aisyah, itu adalah doaku untuk semua ummatku setiap selesai shalat.”

Sumber : Shohih Ibnu Hibban

Begitulah, wujud kecintaan Nabi kepada ummatnya. Setiap saat selalu mendoakan untuk kebaikan ummatnya, yang banyak berlumuran dosa. Termasuk kita.

يَا هَنَانَــــــــا بِمُحَمَّد ذَلِكَ الفَضلُ مِنَ الله

Betapa beruntungnya kami dengan Muhammad (Saw), itulah anugerah dari Allah SWT


Ampunan Tanpa Batas

Dalam sebuah riwayat dari Abu Allayts: 
Suatu ketika Sayidina Umar menemui Nabi sambil menangis. Maka Nabi bertanya mengapa?. Umar menjawab, "Wahai Nabi, di depan rumahmu ada seorang pemuda menangis dan tangisannya begitu menyayat kalbu!". Nabi berkata, "Kalau begitu segeralah suruh ia masuk".

Setelah pemuda itu masuk, Nabi bertanya "Apa yang membuatmu menangis seperti itu?" Pemuda itu menjawab, "Dosa-dosaku, wahai Nabi. Aku takut kemurkaan Dzat Yang Maha Perkasa!"
Nabi lalu bertanya kepada pemuda itu, "Apakah kamu pernah menyekutukan Allah?" Dijawab: Tidak. "Apakah kamu pernah membunuh?" Dijawab: Tidak.
Lalu Nabi bersabda, "Kalau begitu Allah akan mengampuni dosamu, sebesar dan sebanyak apapun". "Tapi wahai Nabi, dosaku sungguh sangat besar". Nabi bertanya, "Lebih besar manakah antara dosamu dan Kursi Allah?" Sang pemuda dengan mantap menjawab, "Lebih besar dosaku!" Nabi bertanya lagi, "Lebih besar mana dosamu dengan 'Arsy?" Ia kembali menjawab, "Lebih besar dosaku!".
Nabi bertanya sekali lagi, "Lebih besar manakah dosamu dengan Allah?" Si Pemuda menjawab, "Tentu saja Allah Maha Besar. Tapi dosaku sungguh-sungguh sangat besar, wahai Nabi!".
 

Nabi bertanya, "Apa sebenarnya dosamu itu?".
Pemuda itu menjawab, "Aku sebenarnya sangat malu kepadamu, wahai Nabi. Dosaku adalah: dulu aku seorang pencuri kain kafan mayat-mayat yang sudah dikubur. Suatu ketika aku menggali kuburan seorang mayat gadis belia. Setelah aku ambil kain kafannya, tiba-tiba syetan menggodaku dan akupun menyetubuhi mayat gadis itu di liang kuburnya! Namun setelah itu tiba-tiba mayat itu berdiri menghampiriku dengan sorot mata tajam penuh kemarahan dan ia berkata: Engkau begundal tak tahu malu. Kau biarkan aku telanjang di tengah-tengah para mayat yg suci itu. Dan kau jadikan aku dalam keadaan junub padahal aku hendak menghadap Allah!..."
 

Mendengar penuturan ini, Nabi kemudian mengusir si pemuda!
Setelah diusir oleh Nabi, pemuda itu bertafakkur dan bermunajat kepada Allah selama 40 hari. Dan ia pun berdoa, "Ya Allah, jika Engkau tak berkenan mengampuniku, maka segeralah Engkau turunkan api neraka kepadaku sekarang juga agar Engkau bakar jasadku yg berlumuran dosa ini. Tetapi jika Engkau berkenan mengampuniku, maka beritahukanlah kepada NabiMu bahwa Engkau memang telah mengampuniku!".
Tak lama kemudian Malaikat Jibril turun kepada Nabi dan memberitahukan bahwa Allah telah mengampuni seluruh dosanya...
 

Alhamdulillahi Awwalan wa Akhiran...

diambil dari status #AbahnyaTata

Istighfar di Bulan Rojab

Pada zaman nabi SAW, hidup seorang yang fasik yaitu orang yang mengaku beriman tetapi senang melakukan dosa, ia bernama Abdullah Bin Shulton, ketika ia meninggal tak seorangpun mau memandikan, mensholatkan apalagi menguburkannya.

Saat itu turun malaikat jibril menyampaikan berita kepada Nabi untuk memberitahukan agar mendatangi rumah lelaki tersebut dan memberikan kewajiban orang hidup terhadap orang mati, lalu nabi seperti biasa mengajak para sahabat untuk memandikan, mengkafani, mensholatkan dan mengkuburkan jenazahnya.

Sepulang dari pemakaman ada keanehan dalam diri nabi, sahabat berkata:
wahai baginda rosul, boleh kami bertanya??, rosul menjawab "boleh", sahabat :"ada hal yang ingin kami utarakan ketika baginda sedang mengantar jenazah yang tadi, terlihat kaki anda di ungkit mengangkat keatas, "jinjit", dan juga ketika selesai menguburkan, anda tersenyum keatas, ada apa?"

Mendengar pertanyaan tersebut Nabi tersenyum, "wahai sahabatku alasan kaki diangkat, karna aku melihat ribuan malaikat berlari-lari mengerebuti mayit tersebut sambil meminta ampun untuk mayit tersebut, nah aku takut menginjak mereka (para malaikat)…. Terus alasan kenapa aku tersenyum keatas karena aku melihat para bidadari berlomba-lomba memberikan minuman untuk roh mayit tersebut.

Para sahabat pun heran, dengan bijak nabi mengajak para sabahat untuk mendatangi rumah mayit tersebut karna ingin tahu amalan apa yang di perbuat oleh mayit tersebut hingga mendapat tempat terbaik di sisi-NYA

Ketika sampai dirumah nya, terlihat sepi, maka sahabat mengetuk rumah tersebut sambil mengucapkan salam 3 kali, namun tidak ada yang menjawabnya, namun ketika di beritahukan bahwa ada nabi yang ikut serta akhirnya pintu tersebut di buka, ternyata keluarlah seorang wanita tua, istri lelaki yang meninggal tadi, dan mempersilahkan masuk para rombongan.

Setelah itu nabi mencerikan apa yang nabi lihat ketika proses pemakaman bahwa terjadi keajaiban-keajaiban terhadap suaminya, istrinya malah heran…. Nabi pun berkata: "wahai ibu… boleh tahu apa amalan suami anda hingga mendapat anugrah seperti itu???" Sang istri menjawab: "wahai ya rosul… sungguh saya malu, suami ku itu tiap harinya sering kali melakukan maksiat dan dosa….", " Coba ingat-ingat" kata rosul…"tidak ada rosul…." "Coba pikirkan lagi…"kata rosul, lalu terjadi keheningan… "oh iya.." kata sang istri "suami ku selalu membaca doa tapi di bacanya hanya bulan rajab…."," Doa apa itu?? Wahai Ali tolong di catat "kata nabi sambil menyuruh ali
"iaya.. saking seringnya membaca doa tersebut, saya sampai hapal doa tersebut

(Ketika bacaan rabbigfirlii warhamnii watub alayyaa di baca 70x)

Sumber teks istighfar : Buku Mutiara Terpendam, Habib Umar bin Hud Al-Aththas

Nishfu Sya’ban


Nishfu Sya’ban adalah hari atau tanggal yang jatuh pada pertengahan bulan Sya’ban (Istilah orang jawa bulan Ruwah). dalam kalangan Muslimin khususnya Nahdliyyin, malam tersebut biasanya diisi dengan beberapa amalan hasanah, terutama pembacaan Surat Yaasin tiga kali secara sendirian atau berjamaah. dengan niatan semoga diberi umur panjang, dijauhkan dari bala' dan ditetapkan imannya, serta diberi rizqy yang banyak, manfa'at dan barokah. Hal ini karena diyakini pada malam tersebut Allah akan memberikan keputusan tentang nasib seseorang selama setahun ke depan.

Adapun keutamaan malam nisfu Sya’ban diterangkan dalam kitab Ihya’ Ulumuddin karya Imam Al-Ghazali.beliau mengatakan bahwa malam Nisfu Sya’ban adalah malam yang penuh dengan syafaat (pertolongan). Menurut Imam Al-Ghazali menyampaikan pula bahwa:
- Pada malam ke-13, Allah SWT memberikan sepetiga syafaat kepada hambanya.
- Pada malam ke-14, seluruh syafaat itu diberikan secara penuh.
- Pada malam ke-15, umat Islam dapat memiliki banyak sekali kebaikan sebagai penutup catatan amalnya selama satu tahun. Karena pada malam ke-15 bulan Sya’ban inilah, catatan perbuatan manusia penghuni bumi akan dinaikkan ke hadapan Allah SWT. istilahnya pengumpulan buku raport dari semua manusia.

Para ulama menyatakan bahwa Nisfu Sya’ban juga dinamakan sebagai malam pengampunan atau malam maghfiroh, karena pada malam itu Allah SWT menurunkan pengampunan kepada seluruh penduduk bumi, terutama kepada hamba-Nya yang shaleh.
Dibawah ini adalah Do'a, Amaliah & Kaifiyyah malam Nishfu Sya'ban.
Do'a ini dibaca usai Sholat Maghrib, tepatnya setelah membaca surat Yasin 3 Kali.

اللَّهم ياَ ذَا اْلمَنِّ وَلاَ يُمَنُّ عَلَيْكَ، يَا ذَا اْلجَلاَلِ وَاْلإكْراَمِ، يَا ذاَ الطَّوْلِ وَاْلإِنْعَامِ. لاَ إلَهَ إِلاَّ أَنْتَ ظَهْرَ اْللاَجِيْنَ وَجَارَ اْلمُسْتَجِيْرِيْنَ وَأَمَانَ اْلخَائِفِيْنَ. اللَّهُمَّ إِنْ كُنْتَ كَتَبْتَنِيْ عِنْدَكَ فِي أُمِّ اْلكِتَابِ شَقِيًّا أَوْ مَحْرُوْماً أَوْ مَطْرُوْدًا أَوْ مُقَتَّراً عَلَيَّ فِي الرِّزْقِ، فَامْحُ اللَّهُمَّ بِفَضْلِكَ فِي أُمِّ الْكِتَابِ شَقَاوَتِيْ وَحِرْمَانِيْ وَطَرْدِيْ وَاِقْتِتَارَ رِزْقِيْ، وَأَثْبِتْنِيْ عِنْدَكَ فِي أُمِّ اْلكِتَابِ سَعِيْداً مَرْزُوْقًا، مُوَفَّقاً لِلْخَيْرَاتِ، فَإِنَّكَ قُلْتَ وَقَوْلُكَ اْلحَقُّ فِي كِتَابِكَ اْلمُنَزَّلِ عَلَى لِسَانِ نَبِيِّكَ اْلمُرْسَل، يَمْحُو اللهُ مَا يَشَآءُ وَيُثْبِتُ، وَعِنْدَهُ أُمُّ اْلكِتَابِ.
إِلَهِي بِالتَّجَلِّي اْلأَعْظَمِ فِي لَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَهْرِ شَعْبَانَ اْلمُكَرَّمِ الَّتِيْ يُفْرَقُ فِيْهَا كُلُّ أَمْرٍ حَكِيْمٍ وَيُبْرَمُ، اِصْرِفْ عَنِّيْ مِنَ اْلبَلاَءِ مَا أَعْلَمُ وَمَا لاَ أَعْلَمُ، وَمَا أَنْتَ بِهِ أَعْلَمُ، وَأَنْتَ عَلاَّمُ اْلغُيُوْبِ بِرَحْمَتِكَ يآ أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ.
وَصَلَّى اللهُ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلَّم. آمين

Adapun cara atau kaifiyahnya:
1. Setelah kita membaca surat yasin yang petama, kemudian kita membaca do'a di atas 1 kali. dengan disertai niat: semoga kita di beri panjang umur yang Manfa'at Barokah bi tho'atillah.
2. Setelah kita membaca surat yasin yang kedua, kemudian kita membaca do'a di atas 1 kali lagi. dengan disertai niat: semoga kita tetap dalam iman & islam di jauhkan dari bala' oleh Alloh SWT.
3. Setelah kita membaca surat yasin yang ketiga, kemudian kita membaca do'a di atas 1 kali lagi. dengan disertai niat: semoga kita di beri Rizqy yang cukup manfa'at barokah oleh Alloh SWT.

Beberapa Pendapat dari Para 'Ulama' :
1.Syaikh ‘Abdul Qadir al-Jilaniy berkata: “Malam Nishfu Sya’ban adalah malam yang paling mulia setelah Lailatul Qodr”.
2.Imam Syafii rahimahullah berkata : “Doa mustajab adalah pada 5 malam, yaitu: malam jumat, malam idul Adha, malam Idul Fitri, malam pertama bulan rajab, dan malam nisfu sya’ban”.
3.Ibnu Abiy as-Shoif al-Yamaniy berkata: “Sesungguhnya bulan Sya’ban adalah bulan sholawat kepada Nabi saw, karena ayat Innallaaha wa malaaikatahuu yushalluuna ‘alan Nabiy … diturunkan pada bulan itu (dikutip dari buku al-Fawaaidul Mukhtaaroh).
Semoga kita selalu mendapat Rahmat & Hidayah dari alloh Subhanahu wa Ta'alaa, amiin.

Wallohu a'lam bishShowab
Semoga Bermanfa'at.

by : Gus Maula Alam